Udang Windu Semakin Sulit Diperoleh di Indonesia?


Berstatus sebagai komoditas unggulan asli Indonesia, udang windu menghadapi permasalahan pelik yang hingga kini belum bisa dipecahkan. Persoalan itu, berkaitan dengan benih untuk melaksanakan budidaya udang windu yang hingga kini masih sangat terbatas ada di alam saja. Itu pun, tidak setiap perairan di Indonesia memiliki benih dari alam yang baik.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, saat ini hanya benih dari perairan di Selat Malaka, Aceh dan Timika, Papua saja yang sudah memenuhi kualitas dan bisa dibudidayakan di seluruh Indonesia. Tetapi, untuk mendatangkan benih tersebut, ternyata juga tidak mudah, karena tidak ada jalur langsung untuk ke setiap daerah.

“Timika, terutama yang masih sulit. Di sana benihnya bagus, tapi tidak ada akses langsung ke daerah yang menjadi lokasi budidaya,”

Slamet menerangkan, akibat kesulitan benih yang berkualitas, usaha budidaya udang windu sudah mengalami keterpurukan selama dua dekade terakhir. Penyebab semakin sulitnya benih berkualitas didapatkan di perairan Indonesia, disinyalir karena pola pengelolaan yang dilakukan mengabaikan prinsip-prinsip budidaya yang bertanggung jawab.

“Kita terus mendorong pengelolaan sumber daya perikanan secara bertanggung jawab. Ini untuk memastikan sistem produksi budidaya secara berkelanjutan,” 

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto (kanan) dan Direktur Marine and Fisheries WWF Indonesia Wawan Ridwan (kiri) dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (15/8/2018) menjelaskan tentang penerapan budidaya berbasis ekosistem (ecosystem approach for aquaculture/EAA) untuk udang windu. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

Menurut Slamet, udang windu memiliki nilai ekonomis penting, sehingga eksistensinya harus dipertahankan sebagai bagian dari plasma nutfah Indonesia. Oleh karenanya dalam pengelolaan udang windu harus mempertimbangkan kesesuaian lokasi dan konservasi sumberdaya udang windu khususnya induk-induk dari alam.
Slamet melanjutkan, untuk bisa menjamin usaha budidaya bisa mencapai prinsip berkelanjutan, maka wajib untuk bisa memenuhi prinsip-prinsip sustainable aquaculture. Cara tersebut, diharapkan bisa memutus kegagalan produksi udang windu yang dialami pada tahun-tahun sebelumnya. Kondisi itu, pada akhirnya bisa memicu angka produksi kembali pulih, sesuai dengan permintaan pasar yang ada.

Untuk mendorong terwujudnya perikanan budidaya berkelanjutan, Slamet menuturkan, KKP sudah memulai penerapan budidaya berbasis ekosistem (ecosystem approach for aquaculture/EAA) yang menjadi percontohan untuk usaha budidaya. Implementasi tersebut dilaksanakan di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan dengan menggandeng WWF Indonesia dan PT Bomar sebagai eksportis udang windu.

“Nantinya, percontohan di Pinrang akan menjadi rujukan untuk penerapan EAA di seluruh Indonesia,” jelasnya.


Degradasi

Tentang konsep berkelanjutan dalam usaha budidaya perikanan, Slamet Soebjakto menyebutkan bahwa itu harus menjadi pemicun semangat kerja bagi semua pembudidaya. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir, oleh para pakar perikanan dan praktisi lingkungan, usaha budidaya perikanan selalu dituding sebagai penyebab terjadinya degradasi ekosistem di kawasan pesisir.
Menurut Slamet, terjadinya degradasi karena usaha budidaya perikanan selama ini selalu melaksanakan eksploitasi sumber induk dan benih yang berasal dari alam. Sementara, di lokasi yang menjadi sumber induk, ada ekosistem mangrove dan padang lamun yang menjadi kekuatan utama keberlanjutan kawasan pesisir.

“Disini saya ingin tegaskan bahwa mulai saat ini eksploitasi sumber induk dan benih dari alam harus dihentikan,” ujarnya.



Untuk bisa melepaskan diri dari ketergantungan alam, Slamet mengungkapkan, Pemerintah mendorong pemuliaan induk melalui breeding program. Saat ini, KKP memiliki broodstock center khusus udang windu di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dan BPBAP Takalar yang akan didorong untuk menghasilkan induk-induk unggul dan SPF (Spesifik Pathogen Free).

Direktur Marine and Fisheries WWF Indonesia Wawan Ridwan di tempat yang sama mengatakan, udang windu merupakan udang endemik dan menjadi keragaman plasma nutfah Indonesia. Menurut dia, ada hak ekologi terkait sumberdaya udang windu ini, dimana Indonesia bertanggungjawab menjamin kelestarian sumberdaya udang windu ini. Itu berarti, jika udang windu punah, maka negara lain bisa menuntut Indonesia.

Wawan mengungkapkan, selama ini orang Indonesia tidak sedikit yang merasa terlena dan berpikir bahwa sumber daya udang windu tidak terbatas. Akibatnya, pertimbangan carrying capacity yang seharusnya ada dalam penerapan usaha budidaya perikanan, jadi terabaikan dan itu berlanjut dari tahun ke tahun di seluruh Indonesia.
“Inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan stok, imbasnya tidak ada jaminan ketersediaan bagi lintas generasi,” tuturnya.

Salah satu penyuplai benih udang windu yang memenuhi kualitas dan standar internasional, adalah Moana Technology yang berpusat di Hawaii, Amerika Serikat. Perusahaan tersebut kini digandeng untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam menyuplai benih udang windu. Selama kerja sama tersebut, diharapkan ada proses transfer teknologi kepada Indonesia untuk melahirkan benih udang windu yang berkualitas dan bebas dari penyakit.

General Manager Moana Technology Walter Coppens menyatakan, induk dan benih yang bebas penyakit menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan budidaya udang windu. Keberhasilan selected breeding program yang dilakukan Moana saat ini, diantaranya adalah kematangan gonad induk yang mampu dipersingkat dari semula 12 bulan menjadi hanya 9 bulan.

“Kemudian, sistem ketelusuran yang efektif, dan jaminan terbebas dari hampir 20 jenis penyakit dan gejalanya,” sebut dia.

Walter Coppens mengatakan, pihaknya memberikan jaminan bahwa induk yang digunakan betul betul telah melalui seleksi yang ketat dan telah terbukti benih yang dihasilkan memiliki survival rate (SR) yang tinggi. Saat ini, pihaknya memiliki 3 (tiga) lokasi multiplication center di Vietnam, Bangladesh dan India. Khusus untuk Vietnam, National Broodstock Center Vietnam sudah menghasilkan 60.000 induk per tahun.


“Ini salah satu ambisi Vietnam untuk menguasai pangsa pasar udang dunia. Saya rasa Indonesia perlu melakukan hal yang sama agar tidak ketinggalan,” jelasnya.


            Seekor udang windu yang terkena penyakit bintik putih (white spot syndromeI/WSS).




Sertifikasi

Agar bisa menerapkan prinsip berkelanjutan melalui EAA, usaha budidaya perikanan didorong untuk memperoleh sertifikasi yang dikeluarkan lembaga dunia, salah satunya sertifikasi Aquaculture Stewardship Council (ASC). Upaya tersebut, kini sedang dilakukan oleh PT Bomar yang sedang mendorong usaha yang terintegrasi dan bekerja sama dengan WWF Indonesia.

Manajer PT Bomar Irsan Surya Centama mengatakan, potensi tambak untuk pengembangan udang windu di Sulawesi dan Kalimantan diperkirakan mencapai 263.000 hektare dan tersebar di Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara. Di provinsi-provinsi tersebut, usaha budidaya melibatkan sedikitnya 100 ribu orang pekerja.

Demand udang windu ini sangat besar dan terbuka, dan saat ini kami masih kekurangan suplai. Indonesia punya potensi pengembangan besar, saya rasa dengan upaya pengembangan induk dan benih unggul dan pengelolaan budidaya yang berkelanjutan, peluang ini dapat kita capai,” 

Sementara, Direktur Perbenihan, Coco Kokarkin Soetrisno menerangkan, keterpurukan yang terjadi dalam dua dekade terakhir, harus menjadi penyemangat bagi Indonesia untuk bisa bangkit lagi dalam usaha budidaya udang windu. Untuk itu, perlu kerja sama yang luas dan rapi dengan semua stakeholders. Pengelolaan sistem produksi mulai dari breeding program, pengelolaan budidaya dan pendampingan menjadi hal pokok yang harus segera ditingkatkan.
“Ini saatnya udang windu kembali berjaya, bagaimana menjamin suplai induk dan benih yang bermutu,” tegasnya.


Diketahui, produksi udang windu secara nasional pada 2016 mencapai 150.860 ton atau sekitar 20,99 persen dari total produksi udang nasional, naik sebesar 18,2 persen dibanding tahun 2015 yang mencapai 127.627 ton. Sementara, pada 2017 ditargetkan produksi udang secara keseluruhan mencapai 700 ribu ton.











Semoga Bermanfaat... Terima kasih sudah berkunjung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar