Patroli penjaga perbatasan Filipina melakukan latihan penyergapan dan penangkapan bajak laut di Manila Bay, Filipina (13/7/2016). REUTERS/Romeo Ranoco
Asia masih menduduki peringkat pertama di dunia dalam urusan
kejahatan komplotan perompak laut. Penculikan dan meminta uang tebusan
masih tinggi di Laut Sulu dan Sulawesi.
dua jam sebelum matahari terbenam, 10 orang bersenjatakan senapan dan
parang yang menumpang sebuah kapal cepat secepat kilat, melompat ke
geladak kapal tanker Orapin 4 yang memuat bahan bakar dalam jumlah besar
dan sedang berada di perairan antara Singapura dan Pontianak. Mereka
langsung mencari awak kapal, menyekapnya di dek bawah dan menonaktifkan
sistem komunikasi.
Sepuluh kawanan bersenjata yang ternyata adalah komplotan bajak laut ini menghapus huruf pertama dan terakhir “Orapin” di buritan kapal, sehingga terbaca “rapi” —sebuah usaha untuk membuat tanda pengenal baru di kapal.
Dalam waktu 10 jam sejak aksi pembajakan, para kawanan perompak berhasil menyedot lebih dari 3.700 metrik ton bahan bakar dan memindahkannya ke kapal kedua. Banyaknya minyak yang berhasil dicuri ini membuat insiden Orapin 4 jadi buah bibir.
Ketika gagal menghubungi para awak kapal, pihak perusahaan pemilik kapal Orapin 4 asal Thailand segera melapor bahwa kapal tersebut telah hilang. Peringatan radio segera dikirim keluar meminta kapal lain untuk mengawasi keberadaan Orapin 4. Tetapi tidak ada yang melapor telah melihat kapal tersebut.
Empat hari setelah serangan tersebut, Orapin 4 akhirnya masuk ke pelabuhan asalnya di Sri Racha, Thailand. Sebanyak 14 anggota awak kapal selamat, tetapi tidak muatan bahan bakarnya. Nilai kerugian akibat pencurian minyak menyentuh 1,9 juta dolar.
Perusahaan Thailand pemilik kapal Orapin 4 sudah empat kali mengalami serangan perompak. Serangan pertama terjadi pada Agustus 2013, disusul dua serangan pada Oktober 2013 dan terakhir pada terakhir Mei 2014. sebelumnya pada 17 April 2014, sebanyak 16 kawanan bajak laut berhasil menyedot 450 metrik ton minyak dari kapal Sri Pangnga dengan modus operandi yang sama.
Banyak pihak menyangka bajak laut hanya beroperasi di Somalia. Namun, kenyataannya justru 41% aktivitas serangan bajak laut dunia antara 1995 sampai 2013 terjadi di Asia Tenggara. Somalia yang berada di Laut Hindia Barat saja hanya menyumpang 28% aktivitas bajak laut dunia, sementara pantai Afrika Barat 18%.
Sepuluh kawanan bersenjata yang ternyata adalah komplotan bajak laut ini menghapus huruf pertama dan terakhir “Orapin” di buritan kapal, sehingga terbaca “rapi” —sebuah usaha untuk membuat tanda pengenal baru di kapal.
Dalam waktu 10 jam sejak aksi pembajakan, para kawanan perompak berhasil menyedot lebih dari 3.700 metrik ton bahan bakar dan memindahkannya ke kapal kedua. Banyaknya minyak yang berhasil dicuri ini membuat insiden Orapin 4 jadi buah bibir.
Ketika gagal menghubungi para awak kapal, pihak perusahaan pemilik kapal Orapin 4 asal Thailand segera melapor bahwa kapal tersebut telah hilang. Peringatan radio segera dikirim keluar meminta kapal lain untuk mengawasi keberadaan Orapin 4. Tetapi tidak ada yang melapor telah melihat kapal tersebut.
Empat hari setelah serangan tersebut, Orapin 4 akhirnya masuk ke pelabuhan asalnya di Sri Racha, Thailand. Sebanyak 14 anggota awak kapal selamat, tetapi tidak muatan bahan bakarnya. Nilai kerugian akibat pencurian minyak menyentuh 1,9 juta dolar.
Perusahaan Thailand pemilik kapal Orapin 4 sudah empat kali mengalami serangan perompak. Serangan pertama terjadi pada Agustus 2013, disusul dua serangan pada Oktober 2013 dan terakhir pada terakhir Mei 2014. sebelumnya pada 17 April 2014, sebanyak 16 kawanan bajak laut berhasil menyedot 450 metrik ton minyak dari kapal Sri Pangnga dengan modus operandi yang sama.
Banyak pihak menyangka bajak laut hanya beroperasi di Somalia. Namun, kenyataannya justru 41% aktivitas serangan bajak laut dunia antara 1995 sampai 2013 terjadi di Asia Tenggara. Somalia yang berada di Laut Hindia Barat saja hanya menyumpang 28% aktivitas bajak laut dunia, sementara pantai Afrika Barat 18%.
Sepanjang rentang tahun 18 tahun itu, 136 orang pelaut tewas setelah
bajak laut menyatroni kapal. Jumlah tersebut dua kali lipat dari korban
tewas di wilayah perairan Tanduk Afrika, sarang operasi bajak laut
Somalia.
Orapin 4 disatroni perompak di wilayah Selat Malaka dan Singapura, yang telah ribuan tahun menjadi jalur lalu lintas dagang kapal-kapal dari berbagai negara.
Kini tiap tahunnya wilayah perairan ini dilintasi lebih dari 120.000 kapal. Jumlah ini sudah mencakup sepertiga dari perdagangan laut dunia. Antara 70 – 80% minyak yang diimpor oleh Cina dan Jepang turut transit di selat ini.
Meski pembajakan Orapin 4 sudah tiga tahun lewat, tetapi secara keseluruhan aksi kejahatan di perairan Asia masih tak banyak berubah. Menurut data rilisan Oceans Beyond Piracy (OCB), selama 2016 terdapat 129 laporan insiden pembajakan laut yang menyebabkan gangguan terhadap 2.283 pelayaran. Kerugian materi mencapai 4.5 juta dollar. Jumlah laporan insiden bajak laut di Asia pada 2016 adalah yang tertinggi di dunia. Sebanyak 95 insiden terjadi di Afrika Barat, 27 di Afrika Timur, 27 di Amerika Latin & Karibia.
Cakupan penelitian OCB terhadap Asia meliputi dari pantai timur India hingga Laut Banda di Indonesia. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa pada tahun 2016 tren perampokan di kapal kargo menurun. OCB hanya menerima 3 laporan insiden, jika dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 12 insiden perampokan kapal kargo. Patroli gabungan dan pengawasan bersama dari para negara-negara pesisir disinyalir ikut menekan angka perampokan di kapal kargo.
Sementara tren pencurian di kapal kargo menurun, aksi penculikan dan penyanderaan justru meningkat. Sebanyak 185 pelaut diculik, 67 pelaut serta nelayan disandera. Dua pelaut dibunuh oleh para penyandera. Salah satunya adalah Jurgen Kantner, warga negara Jerman yang video pemenggalannya beredar di dunia maya. Empat korban lainnya tewas saat insiden serangan bajak laut.
Orapin 4 disatroni perompak di wilayah Selat Malaka dan Singapura, yang telah ribuan tahun menjadi jalur lalu lintas dagang kapal-kapal dari berbagai negara.
Kini tiap tahunnya wilayah perairan ini dilintasi lebih dari 120.000 kapal. Jumlah ini sudah mencakup sepertiga dari perdagangan laut dunia. Antara 70 – 80% minyak yang diimpor oleh Cina dan Jepang turut transit di selat ini.
Meski pembajakan Orapin 4 sudah tiga tahun lewat, tetapi secara keseluruhan aksi kejahatan di perairan Asia masih tak banyak berubah. Menurut data rilisan Oceans Beyond Piracy (OCB), selama 2016 terdapat 129 laporan insiden pembajakan laut yang menyebabkan gangguan terhadap 2.283 pelayaran. Kerugian materi mencapai 4.5 juta dollar. Jumlah laporan insiden bajak laut di Asia pada 2016 adalah yang tertinggi di dunia. Sebanyak 95 insiden terjadi di Afrika Barat, 27 di Afrika Timur, 27 di Amerika Latin & Karibia.
Cakupan penelitian OCB terhadap Asia meliputi dari pantai timur India hingga Laut Banda di Indonesia. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa pada tahun 2016 tren perampokan di kapal kargo menurun. OCB hanya menerima 3 laporan insiden, jika dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 12 insiden perampokan kapal kargo. Patroli gabungan dan pengawasan bersama dari para negara-negara pesisir disinyalir ikut menekan angka perampokan di kapal kargo.
Sementara tren pencurian di kapal kargo menurun, aksi penculikan dan penyanderaan justru meningkat. Sebanyak 185 pelaut diculik, 67 pelaut serta nelayan disandera. Dua pelaut dibunuh oleh para penyandera. Salah satunya adalah Jurgen Kantner, warga negara Jerman yang video pemenggalannya beredar di dunia maya. Empat korban lainnya tewas saat insiden serangan bajak laut.
Wilayah Laut Sulu dan Sulawesi yang juga merupakan jalur padat menjadi
daerah paling menakutkan dengan ancaman penculikan dan penyanderaan yang
kerap terjadi. Membentang dari wilayah Sulu di Filipina selatan dan
negara bagian Sabah di Malaysia timur, perairan ini dilintasi lebih dari
13.000 kapal per tahun.
Para pembajak menculik awak kapal yang dianggap senior dan penting, lalu membawanya ke daratan. Negosiasi tebusan dilakukan sebagai syarat keselamatan nyawa korban yang disandera. Sebelum bantuan pihak keamanan tiba, umumnya sandera sudah lepas dari tangan perompak karena mahar tebusan sudah dipenuhi. Belakangan, aksi ini dikaitkan dengan aktivitas kelompok bersenjata di Filipina selatan.
Para pelaut yang melintasi jalur perairan tersebut harus menanggung resiko serangan kelompok organisasi teroris seperti Abu Sayyaf yang berbasis di pulau Jolo dan Basilan selatan. Dengan reputasi sebagai geng penculik dan peminta tebusan, kini mereka menjadi lebih berani untuk menyerang setelah menyatakan kesetiaannya kepada ISIS.
Para pembajak menculik awak kapal yang dianggap senior dan penting, lalu membawanya ke daratan. Negosiasi tebusan dilakukan sebagai syarat keselamatan nyawa korban yang disandera. Sebelum bantuan pihak keamanan tiba, umumnya sandera sudah lepas dari tangan perompak karena mahar tebusan sudah dipenuhi. Belakangan, aksi ini dikaitkan dengan aktivitas kelompok bersenjata di Filipina selatan.
Para pelaut yang melintasi jalur perairan tersebut harus menanggung resiko serangan kelompok organisasi teroris seperti Abu Sayyaf yang berbasis di pulau Jolo dan Basilan selatan. Dengan reputasi sebagai geng penculik dan peminta tebusan, kini mereka menjadi lebih berani untuk menyerang setelah menyatakan kesetiaannya kepada ISIS.
"Pada awal 2016 mereka menargetkan kapal penangkap ikan dan kapal tunda,
namun sejak November lalu telah menargetkan kapal komersial besar
seperti bulkers dan containerships," ujar Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robberies against Ships in Asia (ReCAAP) tentang taktik perubahan kelompok ekstremis tersebut.
Kondisi mengerikan seperti ini memicu tindakan kerjasama antar negara-negara Asia Tenggara. Seperti dilaporkan oleh Asia Times, Indonesia, Malaysia dan Filipina telah memulai patroli bersama untuk mempersempit ruang gerak para bajak laut yang selama ini meneror kapal-kapal di perairan wilayah Sibutu, Filipina.
Kondisi mengerikan seperti ini memicu tindakan kerjasama antar negara-negara Asia Tenggara. Seperti dilaporkan oleh Asia Times, Indonesia, Malaysia dan Filipina telah memulai patroli bersama untuk mempersempit ruang gerak para bajak laut yang selama ini meneror kapal-kapal di perairan wilayah Sibutu, Filipina.
Laporan yang dirilis oleh ReCAAP untuk
bulan Juli 2017 memang tidak menunjukkan adanya aktivitas penculikan
dan penyanderaan di wilayah Laut Sulu dan Sulawesi sejak terakhir
terjadi pada bulan Maret 2017 kemarin. Hanya ada dua insiden perampokan
bersenjata di daerah South Harbour Filipina. Dibandingkan dengan Juli
2016, terdapat lima insiden.
Namun demikian, data ini dinamis, mengingat tidak ada jaminan aksi
kejahatan para perompak bakal berhenti. Seperti yang terjadi pada 10
Agustus 2017 lalu, sebuah kapal penumpang disatroni dua pembajak laut di
daerah Pulau Nipah, Indonesia. Sepuluh hari berselang, sebuah kapal
kontainer pengumpan Jerman dilaporkan diserang di dekat Filipina.
Neil Thompson analis geostrategi dan konsultan bisnis Wikistrat berpendapat bahwa kesuksesan upaya memberangus aksi pembajakan di masa mendatang sebagian bergantung pada hasil pengentasan pelanggaran hukum yang merajalela di Filipina selatan. Keributan disertai kekacauan bersenjata di daerah Filipina selatan itu diyakini turut menyumbang tingkat penculikan dan perampokan di wilayah Laut Sulu dan Sulawesi.
Neil Thompson analis geostrategi dan konsultan bisnis Wikistrat berpendapat bahwa kesuksesan upaya memberangus aksi pembajakan di masa mendatang sebagian bergantung pada hasil pengentasan pelanggaran hukum yang merajalela di Filipina selatan. Keributan disertai kekacauan bersenjata di daerah Filipina selatan itu diyakini turut menyumbang tingkat penculikan dan perampokan di wilayah Laut Sulu dan Sulawesi.
Aksi kejahatan laut di perairan Asia khususnya Asia Tenggara jelas
membawa dampak buruk bagi perekonomian di Asia Tenggara dan reputasi
keamanan lautnya. Hanya komitmen kuat patroli bersenjata lintas negara
Asia Tenggara yang dapat memberi tekanan lebih dalam untuk mempersempit
ruang gerak para perompak laut ini.
Legenda Bajak Laut Berlanjut
Asia Tenggara termasuk kawasan dagang yang selalu diincar bajak laut.
Selat Malaka dan Laut Sulu adalah daerah yang cukup sering mendapat
gangguan bajak laut.
Bajak laut bukan lagi dongeng dari masa silam. Abu Sayyaf kembali
menghidupkan lagi cerita bajak laut yang berjaya pada abad-abad silam.
Abu Sayyaf dan pengikutnya tentu bukan bajak laut kuno bermata satu.
Mereka harusnya sudah pakai senjata api macam Kalasnikov juga.
Awal tahun 2016, kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 awak kapal tugboat Brahma 12, dan baru membebaskannya pada 1 Mei 2016. Rupanya, penculikan dan penyanderaan berulang juga pada awak kapal tugboat lain, pada 20 Juni 2016 terhadap kapal Charles. Pembajak minta tembusan 20 juta ringgit. Begitulah bajak laut masa kini. Mereka bukan lagi merampok isi kapal lalu pergi, melainkan menculik seisi kapal lalu menyandera untuk minta tebusan.
Sekarang, mari kita berbicara tentang lokasi bajak laut pimpinan Abu Sayyaf yakni Laut Sulu. Lautan ini dikelilingi oleh Malaysia, Brunei, dan juga Indonesia selain Filipina. Sulu tak hanya merupakan nama laut, tetapi juga merujuk pada sebuah Kesultanan Islam di selatan Filipina bernama Sulu, yang pernah menguasai lautan di Selatan Filipina. Beberapa daerah di ujung timur laut pulau Kalimantan pernah menjadi wilayah taklukkannya.
Ada Lanun di Sekitar Selat Makassar Sekitar tahun 1970an, Sultan Sulu, pernah dituduh sebagai raja bajak laut oleh Malaysia. Bulan Maret 2013, Lahad Batu di Sabah, yang merupakan wilayah Malaysia di Kalimatan, diserang oleh tentara Sulu. Menurut Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, jumlah tentara itu sekitar 100 hingga 300 orang. Tak hanya tentara, pesawat jet tempur juga dikerahkan untuk menjinakkannya. Sulu adalah bahaya besar bagi Malaysia.
Di masa lalu, bajak laut di sekitar Sulu dianggap masalah besar. Adrianus Bernard Lapian, dalam Bajak Laut, Orang Laut, Raja Laut (2009) menuliskan, bajak laut di sekitar Sulawesi bagian utara itu sering disebut lanun, berasal dari kata I lanao en yang berarti orang dari danau. Semula mereka di pedalaman, lalu menyebar pesisir pantai di sekitar Kesultanan Sulu. Lanun adalah kelompok bajak laut yang tergolong kuat, bahkan tak bisa dihabisi oleh kerajaan-kerajaan di sekitar Malaysia, Filipina maupun Indonesia.
Menurut Edward Polinggomang dalam bukunya Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (2002), pihak Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga pernah menuntut Kesultanan Sulu untuk membereskan para bajak laut yang merajalela di wilayahnya. Sulawesi bagian utara adalah daerah yang sering menjadi sasaran para bajak laut Sulu yang merajalela.
Tak hanya di Sulawesi bagian utara, aksi bajak laut Sulu bahkan juga sampai di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Konon, gangguan bajak laut bahkan membuat Kerajaan Kutai Lama memindahkan istana rajanya.
Menurut R.Z, Leiriza, dalam Sejarah Kebudayaan Maluku (1999), perahu yang sering dipakai oleh bajak laut yang berada di sekitar kepulauan Sulu adalah perahu kora-kora. Kora-kora memiliki ciri bentang satu layar berbentuk persegi panjang, berbadan lebar dan pendek, berlambung rendah, dan ujung-ujungnya tinggi serta dihias. Senjata tajam mereka bermacam-macam dan berbagai ukuran.
Awal tahun 2016, kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 awak kapal tugboat Brahma 12, dan baru membebaskannya pada 1 Mei 2016. Rupanya, penculikan dan penyanderaan berulang juga pada awak kapal tugboat lain, pada 20 Juni 2016 terhadap kapal Charles. Pembajak minta tembusan 20 juta ringgit. Begitulah bajak laut masa kini. Mereka bukan lagi merampok isi kapal lalu pergi, melainkan menculik seisi kapal lalu menyandera untuk minta tebusan.
Sekarang, mari kita berbicara tentang lokasi bajak laut pimpinan Abu Sayyaf yakni Laut Sulu. Lautan ini dikelilingi oleh Malaysia, Brunei, dan juga Indonesia selain Filipina. Sulu tak hanya merupakan nama laut, tetapi juga merujuk pada sebuah Kesultanan Islam di selatan Filipina bernama Sulu, yang pernah menguasai lautan di Selatan Filipina. Beberapa daerah di ujung timur laut pulau Kalimantan pernah menjadi wilayah taklukkannya.
Ada Lanun di Sekitar Selat Makassar Sekitar tahun 1970an, Sultan Sulu, pernah dituduh sebagai raja bajak laut oleh Malaysia. Bulan Maret 2013, Lahad Batu di Sabah, yang merupakan wilayah Malaysia di Kalimatan, diserang oleh tentara Sulu. Menurut Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, jumlah tentara itu sekitar 100 hingga 300 orang. Tak hanya tentara, pesawat jet tempur juga dikerahkan untuk menjinakkannya. Sulu adalah bahaya besar bagi Malaysia.
Di masa lalu, bajak laut di sekitar Sulu dianggap masalah besar. Adrianus Bernard Lapian, dalam Bajak Laut, Orang Laut, Raja Laut (2009) menuliskan, bajak laut di sekitar Sulawesi bagian utara itu sering disebut lanun, berasal dari kata I lanao en yang berarti orang dari danau. Semula mereka di pedalaman, lalu menyebar pesisir pantai di sekitar Kesultanan Sulu. Lanun adalah kelompok bajak laut yang tergolong kuat, bahkan tak bisa dihabisi oleh kerajaan-kerajaan di sekitar Malaysia, Filipina maupun Indonesia.
Menurut Edward Polinggomang dalam bukunya Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (2002), pihak Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga pernah menuntut Kesultanan Sulu untuk membereskan para bajak laut yang merajalela di wilayahnya. Sulawesi bagian utara adalah daerah yang sering menjadi sasaran para bajak laut Sulu yang merajalela.
Tak hanya di Sulawesi bagian utara, aksi bajak laut Sulu bahkan juga sampai di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Konon, gangguan bajak laut bahkan membuat Kerajaan Kutai Lama memindahkan istana rajanya.
Menurut R.Z, Leiriza, dalam Sejarah Kebudayaan Maluku (1999), perahu yang sering dipakai oleh bajak laut yang berada di sekitar kepulauan Sulu adalah perahu kora-kora. Kora-kora memiliki ciri bentang satu layar berbentuk persegi panjang, berbadan lebar dan pendek, berlambung rendah, dan ujung-ujungnya tinggi serta dihias. Senjata tajam mereka bermacam-macam dan berbagai ukuran.
Selain sekitar Laut Sulu di sekitar Selat Makassar, lokasi operasi bajak laut lainnya adalah Selat Malaka. Perairan ini sudah ramai sejak ribuan rahun silam. Kapal-kapal dagang dari India dan Cina sering melintasi jalur laut tersebut untuk perdagangan. Kapal-kapal kaya muatan itu biasanya menjadi sasaran bajak laut. Tak hanya ratusan tahun silam, menurut data survey Biro Maritim Internasional tahun 2000, sejak satu dekade sebelumnya, kawasan Selat Malaka adalah yang paling rawan gangguan bajak laut.
Tanah Singapura dulunya disebut Tumasik. Sekitar tahun 1390an, ini pernah dikuasai oleh Parameswara, tokoh Palembang yang punya istri putri Majapahit. Karena dia menolak tunduk pada Majapahit dia terusir dari Palembang yang dikuasai Majapahit. Selanjutnya dia sampai ke Tumasik dan menyingkirkan raja Tumasik. Hingga dia pun jadi raja. Parameswara lalu sebagai Raja Bajak Laut.
Di zaman sebelum Parameswara, bajak laut di sekitar Selat Malaka sudah hal biasa. Selain Tumasik, Riau pun bisa jadi daerah sarang bajak laut. Menurut Sejarawan Slamet Muljana, dalam bukunya Sriwijaya (2006) daerah Riau yang agak sepi dari pelayaran niaga menjadi sarang bajak laut yang beroperasi di Selat Malaka.
Lapian juga mencatat, Fa-Hsien yang sedang dalam perjalanan pulang dari India (413-414), menyebut perairan di Asia Tenggara dipenuhi oleh bajak laut. Menurut Jiadan (785-805), pangkalan bajak laut berada di sebelah barat-laut Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya dianggap sebagai kerajaan yang memanfaatkan bajak laut untuk menjaga kepentingan dagangnya. Hubungan bajak laut dengan raja-raja lokal biasanya akrab. Bajak laut bisa disulap jadi Angkatan Laut sebuah kerajaan jika ada bagi hasil yang saling menguntungkan antara raja dan kepala bajak laut.
Menurut Gangguan bajak laut dari Cina, Sriwijaya dan Tumasik membuat sebagian pedagang dari Asia Barat lebih memilih melewati pesisir barat Sumatera untuk menuju Jawa. Di pesisir barat Sumatera, setidaknya ada beberapa pelabuhan seperti Barus, Padang atau Pariaman.
Menurut AB Lapian, sejak awal abad XIX, pengaruh bajak laut di Indonesia makin berkurang. Para bajak laut banyak diburu oleh pemerintah kolonial. Bajak laut digolongkan sebagai kriminal. Dalam sejarahnya, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang merupakan Tentara Kolonial Hindia Belanda pun pernah dapat tugas menghalau para bajak laut.
Di tahun 1835, KNIL pernah dikirim ke Belitung untuk melawan bajak laut. Selain itu, setidaknya KNIL pernah dikirim ke Kepulauan Sangir (1863), Manado (1865), Pantai Timur Sumatera East (1885) dan Batu Barah (1886). Meski begitu, bajak laut sejatinya masih ada di kawasan Asia Tenggara di masa-masa sesudahnya. Banyak pulau-pulau kosong yang tak terjangkau oleh pemerintah kolonial, sehingga pulau-pulau itu sangat bagus untuk menjadi sarang bajak laut.
Beberapa negara seperti Indonesia
sudah punya satuan bersenjata seperti Polisi Perairan maupun Angkatan
Laut yang bisa dikerahkan untuk menghalau bajak laut, tak hanya di
sekitar Laut Sulu atau Selat Makassar saja. Namun, bajak laut tetap saja
ada. Di beberapa daerah bahkan ada fenomena bajak sungai yang sering
mengganggu kapal-kapal bermuatan. Bajak laut memang tak pernah hilang
dari sejarah maritim Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar